Selasa, 30 Maret 2010

nasib adalah kesunyian masing-masing

Grafiti

– tulislah sajak cinta di gardu pos kamling

Cinta bisa dinyatakan di toilet terminal, bokong truk, grafiti di tembok kota atau sprei sebuah ranjang penginapan murah. Sebuah bait dari kitab agung Sutasoma menghadirkan kemungkinan yang mengejutkan –biarlah saya mengutip (terjemahan)nya di sini barang sebentar:

“Satu waktu sang permaisuri sedang makan angin dalam sebuah mahanten (pondok kecil di taman sari). Di sana ia menyalin sebuah kakawin yang ditinggal seorang penyair yang sedang dilanda asmara. Ketika Sang Raja mengetahui sang istri menembangkan kakawin itu, meluaplah rasa curiga dan sedihnya; pasti ada seorang kekasih yang mengirimkan sajak-sajaknya lewat bunga pudak (sejenis pandan). Tetapi Dewi Marmawati menegaskan bahwa ia hanya menyalin kakawin itu…”

Selanjutnya, dikisahkan Mpu Tantular, Raja tersebut pergi ke mahanten yang disebutkan permaisuri, sayangnya kakawin yang dibaca istrinya telah terhapus oleh air yang menetes dari teratak. Rupanya, ada seorang pangeran, muda lagi nakal, yang terbakar oleh nafsu asmara kepada permaisuri sehingga ia terus menerus mengirimkan sajak-sajak asmara, biarpun cintanya itu ditolak. Amarah Raja tak tertahankan sehingga ia mengirimkan pangeran muda tadi ke medan pertempuran untuk seterusnya tak pernah kembali.

Zoetmulder, seorang sarjana kesustraan Jawa yang bertaraf empu, mengutip fragmen di atas untuk membuka uraiannya mengenai bagaimana pondok, balai, atau bangunan-bangunan kecil yang sejenis dengan itu seringkali digunakan sebagai medium bagi seorang pujangga atau kawi untuk menuliskan syair-syairnya.

Sayangnya, Zoetmulder tak bisa memastikan bagaimana pondok semacam itu menjadi medium penulisan syair-syair. Mungkinkah Sang Pujangga menuliskan syairnya dalam sehelai lontar atau pudak? Mungkin saja. Tapi sepertinya bukan.

Dalam Kitab Sumanasantaka yang ditulis Mpu Monaguna pada abad 11, ada fragmen tentang pujangga yang singgah di sebuah pondok dekat telaga bersama kekasihnya. Pujangga tadi sempat menggubah sebuah syair di pondok tersebut. Sebelum meninggalkan pondok, kekasih sang pujangga merasa perlu menghapalkan lebih dulu syair itu sebelum akhirnya pergi.

Jika syair itu ditulis dalam sehelai lontar, bukankah lebih mudah dan praktis jika syair itu dibawa serta dan tak perlu menghapalkannya lebih dulu? Kemungkinan yang palling masuk akal adalah sang pujangga memang menuliskan syairnya di salah satu dinding atau tiang pondok tersebut.

Ada banyak contoh dan fragmen bagaimana syair-syair cinta ternyata ditulis dengan cara seperti di atas. Sepertinya ada hubungan yang cukup istimewa antara syair-syair cinta dengan bangunan-bangunan kecil, entah itu di taman sari, keputren, di tepi telaga atau di depan biara.

Bait lain dari Kitab Sutasoma juga menggambarkan hal serupa. Dalam sebuah deskripsi mengenai bidadari-bidadari dari sorga yang diutus oleh Indra untuk menggoda SUtasoma, terdapat bait yang berbunyi: “Beberapa di antara mereka dilanda oleh rasa asmara yang dituangkan lewat suatu ratapan dalam bentuk syair di dalam sebuah yasa (pondok).”

Saya tidak tahu kenapa banyak orang-orang yang dilanda asmara pada zaman dulu mencurahkan rasa-hatinya dalam syair-syair yang dicoretkan di dinding/tiang sebuah pondok. Mungkin pada masa itu mengungkapkan perasaan cinta langsung pada orangnya masih dianggap tak lazim, sehingga jangankan “nembak langsung”, mengungkapkan dalam sepucuk surat pun barangkali masih dianggap aneh. Dengan menuliskan syair di pondok yang akan disinggahi atau didatangi oleh orang lain, bisa jadi penulisnya berharap orang yang ia cintai akan membacanya satu waktu atau akan ada orang lain yang membacanya dan lantas menyampaikan syair itu pada perempuan yang dicintainya.

Bait lain dari Kitab Sumanasantaka membenarkan salah satu kemungkinan itu. Dalam bagian yang mengisahkan seorang yang ditolak lamarannya oleh Putri Indumati, tertulis begini: “Ia membaca syairnya dan memandangnya dengan penuh cinta, mengerutkan dahinya dan membacanya kembali dengan penuh perhatian; air matanya bercucuran ketika ia merenungkan isinya, karena perasaannya telah diungkapkan dengan amat baik. Pantas jika syair itu disimpan dalam sebuah mahanten (pondok) sehingga dapat dibaca oleh seorang pengembara yang putus asa karena terpisah dari kekasihnya.”

Karena Kitab Sutasoma –di mana semboyan “bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” dicuplik– saja sudah mengabadikan corat-coret macam itu, tak perlu diherankan jika 6 abad kemudian banyak para pecinta dan penyair amatiran melakukannya kembali di mana-mana….

Grafiti cartoon

Grafiti cartoon

grafiti cartoons, grafiti cartoon, grafiti picture, grafiti pictures, grafiti image, grafiti images, grafiti illustration, grafiti illustrations


Grafiti cartoon

grafiti cartoons, grafiti cartoon, grafiti picture, grafiti pictures, grafiti image, grafiti images, grafiti illustration, grafiti illustrations


Grafiti cartoon

grafiti cartoons, grafiti cartoon, grafiti picture, grafiti pictures, grafiti image, grafiti images, grafiti illustration, grafiti illustrations

Grafiti cartoon

grafiti cartoons, grafiti cartoon, grafiti picture, grafiti pictures, grafiti image, grafiti images, grafiti illustration, grafiti illustrations

Grafiti cartoon

grafiti cartoons, grafiti cartoon, grafiti picture, grafiti pictures, grafiti image, grafiti images, grafiti illustration, grafiti illustrations

Grafiti di Sepanjang Jalan Siliwangi

Grafiti di Sepanjang Jalan Siliwangi

By: Mohamad Yanuar Erdian K.R.

Jun 17 2007

Sore itu, 17 Juni 2007

Setelah silaturahmi dari rumah temen, yanuar memutuskan untuk pulang dengan jalan kaki, maklum motor lagi dipinjem. Sebenernya naik angkot jga bisa sih, tapi males aja, itung-itung jalan kaki sambil olahraga dan merenung (bilang aja gk punya duit buat naik angkot :D ).

Jalan siliwangi menimbulkan kesan yang mendalam bagi yanuar. Di jalan itulah, selama setahun pertama di Bandung ini, yanuar menghabiskan waktu. Berangkat pagi-pagi, menyusuri jembatan kali Cikapundung, kadang (lebih tepatnya sering) sambil lari-lari, sambil bercengkrama dengan Udin, kadang Jawair atau Agung atau Alfan. Kenangan di jalan siliwangi itu akan sulit dihapus.

Pertama kali menginjakkan kaki di bandung, yanuar terkesan dengan jalan siliwangi terutama pada grafiti yang ada pada dinding yang melingkupi sekitar setengah dari panjang jalan itu (panjang jalan siliwangi sekitar 1 kilometer). Dinding-dinding itu terkesan artistik dan menarik orang untuk melihatnya. Hasil karya mahasiswa Seni Rupa angkatan 2003. Gambar-gambar itu terlihat bercerita tentang sesuatu, lebih tepatnya bercerita tentang alam karena didominasi oleh gambar-gambar tumbuhan.

Sekarang setelah genap setahun yanuar meninggalkan jalan siliwangi, ada sesuatu yang berbeda, khususnya hari-hari terakhir ini. Grafiti itu, ya grafiti di dinding itu yang membuat berbeda, sekarang lebih cerah. Hal ini tidak lain adalah karena seminggu terakhir ini sedang ada proyek pembaruan grafiti oleh para mahasiswa Seni Rupa. Grafiti yang lama dihapus dan diganti dengan yang baru. Temanya nggak jauh beda, tentang lingkungan, masih didominasi dengan kesan tumbuhan.

Kreasi semacam ini memang bagus sih menurut saya. Paling tidak bisa membuat jalan siliwangi menjadi lebih apik dan sedap dipandang. Nah, masalahnya di “sedap dipandang itu. Bagaimana kalo ada pengendara sepeda motor yang lewat trus lihat grafiti itu dan saking takjubnya jadi nggak konsen sama jalan raya (pengalaman pribadi :D ). Bisa gawat kan ? kayaknya perlu anak psikologi yang nanggepin deh.

Btw, Jalan siliwangi emang penuh kenangan. Yanuar yakin tidak hanya buat yanuar sendiri tapi juga buat temen2 dari kediri yang lain.

Grafiti, Bukan Sekedar Coretan

Grafiti, Bukan Sekedar Coretan

Oleh Chyntia Sheila Elok Paemdong | 2 September 2009 |

Lukisan aneka warna yang ada pada dinding-dinding rumah, toko maupun pagar tembok ternyata bukan sekedar coretan. Bila dicermati, tersirat makna dalam seni menggambar dinding yang dikenal dengan nama grafiti tersebut. Hal ini merupakan wujud ekspresi merekadalam menyampaikan pesan kepada semua orang yang melihatnya.

Coretan yang dulu sempat dianggap merusak lingkungan ini nampaknya semakin banyak peminat. Hal ini terbukti saat pembuat grafiti alias bomber pada Sabtu (15/8) kemarin mengekspresikan karya seninya di sepanjang tembok belakang Hotel Maya, Jalan Monginsidi, Salatiga. Mereka berkompetisi dalam acara “Born to Burn, Salatiga Graffiti Competition” yang diselenggarakan oleh Sinner Crew (komunitas grafiti Salatiga) bekerjasama dengan Rinto Sujarwo Photography, sebagai sponsor utama.

Born to Burn sendiri merupakan acara tahunan Sinner Crew yang diselenggarakan di Salatiga. Tahun lalu acara yang sama mereka selenggarakan di sepanjang tembok Jalan Kalimangkak. Acara kali ini merupakan yang keempat, namun berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya menggambar bersama dan tahun ini, mereka menggambar untuk dilombakan.

Dalam lomba yang berlangsung dari pukul 09.00 hingga 15.00 WIB tersebut, merupakan wujud keikutsertaan komunitas grafiti dalam memeriahkan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-64. Tema yang diambil adalah “Fotografiti Semangat Kemerdekaan” dan diikuti oleh 17 peserta dari berbagai kota di Jawa Tengah. Peserta lomba merebutkan total hadiah Rp 2 juta, beserta tropi dan sertifikat.

Masing-masing peserta pun disibukkan dengan spray paint (cat semprot), cat (yang mereka bawa sendiri — Red) dan tembok yang sudah disediakan panitia. Tangan-tangan cekatan para bomber pun beraksi. Mencat, menyemprotkan spray paint, mundur ke belakang, memandang dari kejauhan, ditemani rokok terselip di antara jari-jari mereka, itulah yang dilakukan saat menggambar. Menuangkan konsep yang telah direncanakan sebelumnya, dilakukan secara bergantian oleh kelompoknya. Keramaian jalan pun tak mampu memecah konsentrasi mereka.

Penduduk sekitar yang ikut menonton aksi mereka pun mendukung acara ini. “Temboknya terlihat lebih bagus dengan grafiti yang keren seperti itu. Asalkan setelah kompetisi ini mereka bertanggungjawab akan kebersihan, peralatan yang mereka gunakan segera dibersihkan. Mereka berharap acara ini akan ada lagi tiap tahunnya,” ucap Zara, remaja yang tinggal disekitar tempat tersebut.

Pukul 15.00 WIB, ketiga orang juri mulai melakukan penilaian hasil karya mereka. Juri tersebut adalah Rinto Sujarwo, Tomi Febriyanto (penikmat seni sekaligus dosen Fisipol UKSW), dan Bayu “Yop” (salah seorang bomber Salatiga).

Keputusan juara kompetisi ini yang dibacakan Tomi. Juara Pertama diraih oleh mahasiswa Universitas Atmajaya, Rune dan As. Juara kedua, Mosses dan Hila. Dan juara ketiga, diraih oleh Ferdy dan Al. Pemenang, semuanya peserta dari Yogyakarta.

Saat dikonfirmasi Tomi mengatakan, “Mereka memenuhi kriteria dalam kompetisi ini.”

“Kesesuaian dengan tema, membuat grafiti tersebut menjadi sinkron dengan fotografi sesuai konsep fotografiti, mengaplikasikan unsur fotografi ke grafiti, serta seperti pada umumnya komposisi warna dan tagging grafiti itu sendiri,” jelasnya.

Dalam grafiti yang dibuat oleh Rune dan As, terlihat seorang wanita mencium sang merah putih yang ada di dekapan tangannya. Di sampingnya font grafiti besar bertulis “Merdeka”. Di antara tulisan dan gambar sosok seorang wanita, terdapat tulisan “HUT RI ke-64″, kemudian di bawahnya “Benderaku Kebanggaanku…”.

“Seorang wanita identik dengan kelembutan, sangat cocok memegang bendera merah putih yang suci,” jawab Rune saat ditanya Scientiarum mengenai konsep karyanya.

“Bendera merah putih lambang kemerdekaan, mengingatkan kekuatan yang begitu besar akan perjuangan bangsa, namun untuk meneruskan kemerdekaan sekarang ini perlu kelembutan bukan hanya kekerasan, agar bangsa Indonesia tetap bersatu,” tegasnya.

Rune membawa pacarnya. Ia mengatakan kalau pacarnya itulah yang menjadi sumber inspirasi karyanya. Dan ada pula salah satu bomber dari mahasiswa UKSW yang mengatakan terinspirasi Mbak Ipah, pelayan café UKSW yang terkenal latah.

Tidak terlihat kekecewaan yang berarti dari para peserta yang lain. Usai acara Born to Burn ini, mereka meneruskan hasil karya mereka dengan spray paint dan cat yang masih tersisa.

Tujuan utama mereka bukanlah menang ataupun kalah, juga bukan hanya untuk merebutkan hadiah. Mereka cukup senang bisa menyalurkan hobi mereka, bisa saling belajar antarpeserta, dan acara kumpul bersama bomber itupun cukup mengasyikkan. Itulah yang diucapkan sebagian besar peserta saat ditanya tentang tujuan mereka mengikuti kompetisi ini.

Kompetisi grafiti ini bisa menjadi ajang kreativitas dalam mengolah huruf juga warna bagi peserta. Menjadi wadah para bomber untuk dapat menyalurkan hobi dan bakat — graffiti khusunya — lebih terarah dan tanpa merusak fasilitas umum.

Grafiti bukan sekedar coretan. Grafiti adalah sebuah seni rupa yang patut hargai dan dikagumi oleh siapapun. Keindahan perpaduan komposisi warna dengan cat dan pylox, melukiskan kalimat di atas dinding, menjadi wujud karya para bomber.

"Teknik-teknik" yang ilegal

"Teknik-teknik" yang ilegal"

Contoh dari tindakan ilegal lainnya yang dilakukan Rajawali Grafiti adalah "memperpanjang" cerita Dragon Ball. Setelah cerita aslinya berakhir pada volume 42, pihak Rajawali dengan sepihak menambah cerita buatan sendiri yang disamarkan sebagai karya asli. Dragon Ball kemudian diterbitkan dengan lisensi oleh Elex Media Komputindo.

Selain itu, Rajawali juga pernah menggambar ulang manga-manga asli secara penuh. Contohnya adalah Doraemon yang diubah menjadi judul Mr IQ dengan menghapus gambar Doraemon yang asli dan menggantinya dengan karakter buatan Rajawali Grafiti yang bernama Mr IQ .

Rajawali Grafiti juga pernah menerbitkan komik yang diambil dari anime, teknik yang dilakukan yaitu dengan melakukan capture frame dari anime tersebut dan menerbitkan dalam komik format berwarna. Format komik seperti ini paling banyak diambil dari OVA Dragon Ball dengan judul DB Master, DB Master sendiri sekarang tercatat telah keluar hingga delapan seri. Dari judul lain yaitu diambil dari OVA YuYu Hakusho dengan judul Ghost Master

Rajawali Grafiti paling sering melakukan perubahan nama-nama karakter dalam manga. Nama yang paling sering digunakan untuk tokoh utama pria adalah Takeshi.

Fungsi grafiti Dan Hukum

Fungsi grafiti

  • Bahasa rahasia kelompok tertentu.
  • Sarana ekspresi ketidak puasan terhadap keadaan sosial.
  • Sarana pemberontakan.
  • Sarana ekspresi ketakutan terhadap kondisi politik dan sosial.
Hukum

Grafiti yang dibuat sebagai bentuk penolakan terhadap RUU APP

Pada perkembangannya, grafiti di sekitar tahun 70-an di Amerika dan Eropa akhirnya merambah ke wilayah urban sebagai jati diri kelompok yang menjamur di perkotaan. Karena citranya yang kurang bagus, grafiti telanjur menjadi momok bagi keamanan kota. Alasannya adalah karena dianggap memprovokasi perang antar kelompok atau gang. Selain dilakukan di tembok kosong, grafiti pun sering dibuat di dinding kereta api bawah tanah.

Di Amerika Serikat sendiri, setiap negara bagian sudah memiliki peraturan sendiri untuk meredam grafiti. San Diego, California, New York telah memiliki undang-undang yang menetapkan bahwa grafiti adalah kegiatan ilegal. Untuk mengidentifikasi pola pembuatannya, grafiti pun dibagi menjadi dua jenis.

Grafiti pada zaman modern

Grafiti pada Tembok Pemisah Israel di Israel-Palestina.

Adanya kelas-kelas sosial yang terpisah terlalu jauh menimbulkan kesulitan bagi masyarakat golongan tertentu untuk mengekspresikan kegiatan seninya. Akibatnya beberapa individu menggunakan sarana yang hampir tersedia di seluruh kota, yaitu dinding.

Pendidikan kesenian yang kurang menyebabkan objek yang sering muncul di grafiti berupa tulisan-tulisan atau sandi yang hanya dipahami golongan tertentu. Biasanya karya ini menunjukkan ketidak puasan terhadap keadaan sosial yang mereka alami.

Meskipun grafiti pada umumnya bersifat merusak dan menyebabkan tingginya biaya pemeliharaan kebersihan kota, namun grafiti tetap merupakan ekspresi seni yang harus dihargai. Ada banyak sekali seniman terkenal yang mengawali karirnya dari kegiatan grafiti.