Selasa, 30 Maret 2010

nasib adalah kesunyian masing-masing

Grafiti

– tulislah sajak cinta di gardu pos kamling

Cinta bisa dinyatakan di toilet terminal, bokong truk, grafiti di tembok kota atau sprei sebuah ranjang penginapan murah. Sebuah bait dari kitab agung Sutasoma menghadirkan kemungkinan yang mengejutkan –biarlah saya mengutip (terjemahan)nya di sini barang sebentar:

“Satu waktu sang permaisuri sedang makan angin dalam sebuah mahanten (pondok kecil di taman sari). Di sana ia menyalin sebuah kakawin yang ditinggal seorang penyair yang sedang dilanda asmara. Ketika Sang Raja mengetahui sang istri menembangkan kakawin itu, meluaplah rasa curiga dan sedihnya; pasti ada seorang kekasih yang mengirimkan sajak-sajaknya lewat bunga pudak (sejenis pandan). Tetapi Dewi Marmawati menegaskan bahwa ia hanya menyalin kakawin itu…”

Selanjutnya, dikisahkan Mpu Tantular, Raja tersebut pergi ke mahanten yang disebutkan permaisuri, sayangnya kakawin yang dibaca istrinya telah terhapus oleh air yang menetes dari teratak. Rupanya, ada seorang pangeran, muda lagi nakal, yang terbakar oleh nafsu asmara kepada permaisuri sehingga ia terus menerus mengirimkan sajak-sajak asmara, biarpun cintanya itu ditolak. Amarah Raja tak tertahankan sehingga ia mengirimkan pangeran muda tadi ke medan pertempuran untuk seterusnya tak pernah kembali.

Zoetmulder, seorang sarjana kesustraan Jawa yang bertaraf empu, mengutip fragmen di atas untuk membuka uraiannya mengenai bagaimana pondok, balai, atau bangunan-bangunan kecil yang sejenis dengan itu seringkali digunakan sebagai medium bagi seorang pujangga atau kawi untuk menuliskan syair-syairnya.

Sayangnya, Zoetmulder tak bisa memastikan bagaimana pondok semacam itu menjadi medium penulisan syair-syair. Mungkinkah Sang Pujangga menuliskan syairnya dalam sehelai lontar atau pudak? Mungkin saja. Tapi sepertinya bukan.

Dalam Kitab Sumanasantaka yang ditulis Mpu Monaguna pada abad 11, ada fragmen tentang pujangga yang singgah di sebuah pondok dekat telaga bersama kekasihnya. Pujangga tadi sempat menggubah sebuah syair di pondok tersebut. Sebelum meninggalkan pondok, kekasih sang pujangga merasa perlu menghapalkan lebih dulu syair itu sebelum akhirnya pergi.

Jika syair itu ditulis dalam sehelai lontar, bukankah lebih mudah dan praktis jika syair itu dibawa serta dan tak perlu menghapalkannya lebih dulu? Kemungkinan yang palling masuk akal adalah sang pujangga memang menuliskan syairnya di salah satu dinding atau tiang pondok tersebut.

Ada banyak contoh dan fragmen bagaimana syair-syair cinta ternyata ditulis dengan cara seperti di atas. Sepertinya ada hubungan yang cukup istimewa antara syair-syair cinta dengan bangunan-bangunan kecil, entah itu di taman sari, keputren, di tepi telaga atau di depan biara.

Bait lain dari Kitab Sutasoma juga menggambarkan hal serupa. Dalam sebuah deskripsi mengenai bidadari-bidadari dari sorga yang diutus oleh Indra untuk menggoda SUtasoma, terdapat bait yang berbunyi: “Beberapa di antara mereka dilanda oleh rasa asmara yang dituangkan lewat suatu ratapan dalam bentuk syair di dalam sebuah yasa (pondok).”

Saya tidak tahu kenapa banyak orang-orang yang dilanda asmara pada zaman dulu mencurahkan rasa-hatinya dalam syair-syair yang dicoretkan di dinding/tiang sebuah pondok. Mungkin pada masa itu mengungkapkan perasaan cinta langsung pada orangnya masih dianggap tak lazim, sehingga jangankan “nembak langsung”, mengungkapkan dalam sepucuk surat pun barangkali masih dianggap aneh. Dengan menuliskan syair di pondok yang akan disinggahi atau didatangi oleh orang lain, bisa jadi penulisnya berharap orang yang ia cintai akan membacanya satu waktu atau akan ada orang lain yang membacanya dan lantas menyampaikan syair itu pada perempuan yang dicintainya.

Bait lain dari Kitab Sumanasantaka membenarkan salah satu kemungkinan itu. Dalam bagian yang mengisahkan seorang yang ditolak lamarannya oleh Putri Indumati, tertulis begini: “Ia membaca syairnya dan memandangnya dengan penuh cinta, mengerutkan dahinya dan membacanya kembali dengan penuh perhatian; air matanya bercucuran ketika ia merenungkan isinya, karena perasaannya telah diungkapkan dengan amat baik. Pantas jika syair itu disimpan dalam sebuah mahanten (pondok) sehingga dapat dibaca oleh seorang pengembara yang putus asa karena terpisah dari kekasihnya.”

Karena Kitab Sutasoma –di mana semboyan “bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” dicuplik– saja sudah mengabadikan corat-coret macam itu, tak perlu diherankan jika 6 abad kemudian banyak para pecinta dan penyair amatiran melakukannya kembali di mana-mana….

Grafiti cartoon

Grafiti cartoon

grafiti cartoons, grafiti cartoon, grafiti picture, grafiti pictures, grafiti image, grafiti images, grafiti illustration, grafiti illustrations


Grafiti cartoon

grafiti cartoons, grafiti cartoon, grafiti picture, grafiti pictures, grafiti image, grafiti images, grafiti illustration, grafiti illustrations


Grafiti cartoon

grafiti cartoons, grafiti cartoon, grafiti picture, grafiti pictures, grafiti image, grafiti images, grafiti illustration, grafiti illustrations

Grafiti cartoon

grafiti cartoons, grafiti cartoon, grafiti picture, grafiti pictures, grafiti image, grafiti images, grafiti illustration, grafiti illustrations

Grafiti cartoon

grafiti cartoons, grafiti cartoon, grafiti picture, grafiti pictures, grafiti image, grafiti images, grafiti illustration, grafiti illustrations

Grafiti di Sepanjang Jalan Siliwangi

Grafiti di Sepanjang Jalan Siliwangi

By: Mohamad Yanuar Erdian K.R.

Jun 17 2007

Sore itu, 17 Juni 2007

Setelah silaturahmi dari rumah temen, yanuar memutuskan untuk pulang dengan jalan kaki, maklum motor lagi dipinjem. Sebenernya naik angkot jga bisa sih, tapi males aja, itung-itung jalan kaki sambil olahraga dan merenung (bilang aja gk punya duit buat naik angkot :D ).

Jalan siliwangi menimbulkan kesan yang mendalam bagi yanuar. Di jalan itulah, selama setahun pertama di Bandung ini, yanuar menghabiskan waktu. Berangkat pagi-pagi, menyusuri jembatan kali Cikapundung, kadang (lebih tepatnya sering) sambil lari-lari, sambil bercengkrama dengan Udin, kadang Jawair atau Agung atau Alfan. Kenangan di jalan siliwangi itu akan sulit dihapus.

Pertama kali menginjakkan kaki di bandung, yanuar terkesan dengan jalan siliwangi terutama pada grafiti yang ada pada dinding yang melingkupi sekitar setengah dari panjang jalan itu (panjang jalan siliwangi sekitar 1 kilometer). Dinding-dinding itu terkesan artistik dan menarik orang untuk melihatnya. Hasil karya mahasiswa Seni Rupa angkatan 2003. Gambar-gambar itu terlihat bercerita tentang sesuatu, lebih tepatnya bercerita tentang alam karena didominasi oleh gambar-gambar tumbuhan.

Sekarang setelah genap setahun yanuar meninggalkan jalan siliwangi, ada sesuatu yang berbeda, khususnya hari-hari terakhir ini. Grafiti itu, ya grafiti di dinding itu yang membuat berbeda, sekarang lebih cerah. Hal ini tidak lain adalah karena seminggu terakhir ini sedang ada proyek pembaruan grafiti oleh para mahasiswa Seni Rupa. Grafiti yang lama dihapus dan diganti dengan yang baru. Temanya nggak jauh beda, tentang lingkungan, masih didominasi dengan kesan tumbuhan.

Kreasi semacam ini memang bagus sih menurut saya. Paling tidak bisa membuat jalan siliwangi menjadi lebih apik dan sedap dipandang. Nah, masalahnya di “sedap dipandang itu. Bagaimana kalo ada pengendara sepeda motor yang lewat trus lihat grafiti itu dan saking takjubnya jadi nggak konsen sama jalan raya (pengalaman pribadi :D ). Bisa gawat kan ? kayaknya perlu anak psikologi yang nanggepin deh.

Btw, Jalan siliwangi emang penuh kenangan. Yanuar yakin tidak hanya buat yanuar sendiri tapi juga buat temen2 dari kediri yang lain.

Grafiti, Bukan Sekedar Coretan

Grafiti, Bukan Sekedar Coretan

Oleh Chyntia Sheila Elok Paemdong | 2 September 2009 |

Lukisan aneka warna yang ada pada dinding-dinding rumah, toko maupun pagar tembok ternyata bukan sekedar coretan. Bila dicermati, tersirat makna dalam seni menggambar dinding yang dikenal dengan nama grafiti tersebut. Hal ini merupakan wujud ekspresi merekadalam menyampaikan pesan kepada semua orang yang melihatnya.

Coretan yang dulu sempat dianggap merusak lingkungan ini nampaknya semakin banyak peminat. Hal ini terbukti saat pembuat grafiti alias bomber pada Sabtu (15/8) kemarin mengekspresikan karya seninya di sepanjang tembok belakang Hotel Maya, Jalan Monginsidi, Salatiga. Mereka berkompetisi dalam acara “Born to Burn, Salatiga Graffiti Competition” yang diselenggarakan oleh Sinner Crew (komunitas grafiti Salatiga) bekerjasama dengan Rinto Sujarwo Photography, sebagai sponsor utama.

Born to Burn sendiri merupakan acara tahunan Sinner Crew yang diselenggarakan di Salatiga. Tahun lalu acara yang sama mereka selenggarakan di sepanjang tembok Jalan Kalimangkak. Acara kali ini merupakan yang keempat, namun berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya menggambar bersama dan tahun ini, mereka menggambar untuk dilombakan.

Dalam lomba yang berlangsung dari pukul 09.00 hingga 15.00 WIB tersebut, merupakan wujud keikutsertaan komunitas grafiti dalam memeriahkan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-64. Tema yang diambil adalah “Fotografiti Semangat Kemerdekaan” dan diikuti oleh 17 peserta dari berbagai kota di Jawa Tengah. Peserta lomba merebutkan total hadiah Rp 2 juta, beserta tropi dan sertifikat.

Masing-masing peserta pun disibukkan dengan spray paint (cat semprot), cat (yang mereka bawa sendiri — Red) dan tembok yang sudah disediakan panitia. Tangan-tangan cekatan para bomber pun beraksi. Mencat, menyemprotkan spray paint, mundur ke belakang, memandang dari kejauhan, ditemani rokok terselip di antara jari-jari mereka, itulah yang dilakukan saat menggambar. Menuangkan konsep yang telah direncanakan sebelumnya, dilakukan secara bergantian oleh kelompoknya. Keramaian jalan pun tak mampu memecah konsentrasi mereka.

Penduduk sekitar yang ikut menonton aksi mereka pun mendukung acara ini. “Temboknya terlihat lebih bagus dengan grafiti yang keren seperti itu. Asalkan setelah kompetisi ini mereka bertanggungjawab akan kebersihan, peralatan yang mereka gunakan segera dibersihkan. Mereka berharap acara ini akan ada lagi tiap tahunnya,” ucap Zara, remaja yang tinggal disekitar tempat tersebut.

Pukul 15.00 WIB, ketiga orang juri mulai melakukan penilaian hasil karya mereka. Juri tersebut adalah Rinto Sujarwo, Tomi Febriyanto (penikmat seni sekaligus dosen Fisipol UKSW), dan Bayu “Yop” (salah seorang bomber Salatiga).

Keputusan juara kompetisi ini yang dibacakan Tomi. Juara Pertama diraih oleh mahasiswa Universitas Atmajaya, Rune dan As. Juara kedua, Mosses dan Hila. Dan juara ketiga, diraih oleh Ferdy dan Al. Pemenang, semuanya peserta dari Yogyakarta.

Saat dikonfirmasi Tomi mengatakan, “Mereka memenuhi kriteria dalam kompetisi ini.”

“Kesesuaian dengan tema, membuat grafiti tersebut menjadi sinkron dengan fotografi sesuai konsep fotografiti, mengaplikasikan unsur fotografi ke grafiti, serta seperti pada umumnya komposisi warna dan tagging grafiti itu sendiri,” jelasnya.

Dalam grafiti yang dibuat oleh Rune dan As, terlihat seorang wanita mencium sang merah putih yang ada di dekapan tangannya. Di sampingnya font grafiti besar bertulis “Merdeka”. Di antara tulisan dan gambar sosok seorang wanita, terdapat tulisan “HUT RI ke-64″, kemudian di bawahnya “Benderaku Kebanggaanku…”.

“Seorang wanita identik dengan kelembutan, sangat cocok memegang bendera merah putih yang suci,” jawab Rune saat ditanya Scientiarum mengenai konsep karyanya.

“Bendera merah putih lambang kemerdekaan, mengingatkan kekuatan yang begitu besar akan perjuangan bangsa, namun untuk meneruskan kemerdekaan sekarang ini perlu kelembutan bukan hanya kekerasan, agar bangsa Indonesia tetap bersatu,” tegasnya.

Rune membawa pacarnya. Ia mengatakan kalau pacarnya itulah yang menjadi sumber inspirasi karyanya. Dan ada pula salah satu bomber dari mahasiswa UKSW yang mengatakan terinspirasi Mbak Ipah, pelayan café UKSW yang terkenal latah.

Tidak terlihat kekecewaan yang berarti dari para peserta yang lain. Usai acara Born to Burn ini, mereka meneruskan hasil karya mereka dengan spray paint dan cat yang masih tersisa.

Tujuan utama mereka bukanlah menang ataupun kalah, juga bukan hanya untuk merebutkan hadiah. Mereka cukup senang bisa menyalurkan hobi mereka, bisa saling belajar antarpeserta, dan acara kumpul bersama bomber itupun cukup mengasyikkan. Itulah yang diucapkan sebagian besar peserta saat ditanya tentang tujuan mereka mengikuti kompetisi ini.

Kompetisi grafiti ini bisa menjadi ajang kreativitas dalam mengolah huruf juga warna bagi peserta. Menjadi wadah para bomber untuk dapat menyalurkan hobi dan bakat — graffiti khusunya — lebih terarah dan tanpa merusak fasilitas umum.

Grafiti bukan sekedar coretan. Grafiti adalah sebuah seni rupa yang patut hargai dan dikagumi oleh siapapun. Keindahan perpaduan komposisi warna dengan cat dan pylox, melukiskan kalimat di atas dinding, menjadi wujud karya para bomber.

"Teknik-teknik" yang ilegal

"Teknik-teknik" yang ilegal"

Contoh dari tindakan ilegal lainnya yang dilakukan Rajawali Grafiti adalah "memperpanjang" cerita Dragon Ball. Setelah cerita aslinya berakhir pada volume 42, pihak Rajawali dengan sepihak menambah cerita buatan sendiri yang disamarkan sebagai karya asli. Dragon Ball kemudian diterbitkan dengan lisensi oleh Elex Media Komputindo.

Selain itu, Rajawali juga pernah menggambar ulang manga-manga asli secara penuh. Contohnya adalah Doraemon yang diubah menjadi judul Mr IQ dengan menghapus gambar Doraemon yang asli dan menggantinya dengan karakter buatan Rajawali Grafiti yang bernama Mr IQ .

Rajawali Grafiti juga pernah menerbitkan komik yang diambil dari anime, teknik yang dilakukan yaitu dengan melakukan capture frame dari anime tersebut dan menerbitkan dalam komik format berwarna. Format komik seperti ini paling banyak diambil dari OVA Dragon Ball dengan judul DB Master, DB Master sendiri sekarang tercatat telah keluar hingga delapan seri. Dari judul lain yaitu diambil dari OVA YuYu Hakusho dengan judul Ghost Master

Rajawali Grafiti paling sering melakukan perubahan nama-nama karakter dalam manga. Nama yang paling sering digunakan untuk tokoh utama pria adalah Takeshi.

Fungsi grafiti Dan Hukum

Fungsi grafiti

  • Bahasa rahasia kelompok tertentu.
  • Sarana ekspresi ketidak puasan terhadap keadaan sosial.
  • Sarana pemberontakan.
  • Sarana ekspresi ketakutan terhadap kondisi politik dan sosial.
Hukum

Grafiti yang dibuat sebagai bentuk penolakan terhadap RUU APP

Pada perkembangannya, grafiti di sekitar tahun 70-an di Amerika dan Eropa akhirnya merambah ke wilayah urban sebagai jati diri kelompok yang menjamur di perkotaan. Karena citranya yang kurang bagus, grafiti telanjur menjadi momok bagi keamanan kota. Alasannya adalah karena dianggap memprovokasi perang antar kelompok atau gang. Selain dilakukan di tembok kosong, grafiti pun sering dibuat di dinding kereta api bawah tanah.

Di Amerika Serikat sendiri, setiap negara bagian sudah memiliki peraturan sendiri untuk meredam grafiti. San Diego, California, New York telah memiliki undang-undang yang menetapkan bahwa grafiti adalah kegiatan ilegal. Untuk mengidentifikasi pola pembuatannya, grafiti pun dibagi menjadi dua jenis.

Grafiti pada zaman modern

Grafiti pada Tembok Pemisah Israel di Israel-Palestina.

Adanya kelas-kelas sosial yang terpisah terlalu jauh menimbulkan kesulitan bagi masyarakat golongan tertentu untuk mengekspresikan kegiatan seninya. Akibatnya beberapa individu menggunakan sarana yang hampir tersedia di seluruh kota, yaitu dinding.

Pendidikan kesenian yang kurang menyebabkan objek yang sering muncul di grafiti berupa tulisan-tulisan atau sandi yang hanya dipahami golongan tertentu. Biasanya karya ini menunjukkan ketidak puasan terhadap keadaan sosial yang mereka alami.

Meskipun grafiti pada umumnya bersifat merusak dan menyebabkan tingginya biaya pemeliharaan kebersihan kota, namun grafiti tetap merupakan ekspresi seni yang harus dihargai. Ada banyak sekali seniman terkenal yang mengawali karirnya dari kegiatan grafiti.

Kamis, 25 Maret 2010

desain grafiti







contoh gRaffiti

















mW,,,,,,,,,,,,,,,,,liaTtttttt,,,,,,,,,,,,,,,,,,gRaffiti,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,mO2n_pOenJa,,,,,,,,,,,,,lgEeeeeeee,,,,,,,,,,,,,,nEy cntohnya,,,,,,,,,,,liAtttttt,yAaaaaaaaaaa,,,,,,-_^!!!!!!!!!!!!!!!!!!


cara membuat grafiti

Cara Membuat Graffiti 3 dimensi

GRAFFITI SEDERHANA ON KANVAS

Graffiti banyak sekali jenisnya mulai dari abstrak, wildstyle, bubble, dan 3 dimensi. Dalam posting ini saya ingin member sedikit penjelasan bagaimana cara membuat graffiti 3 dimensi.

  1. Pertama-tama yang harus anda lakukan adalah membuat sketsa gambar di sebuah kertas.
  2. lalu anda mencari tembok kosong dan anda cat dasar putih agar warna pada pilox dapat menyatu pada tembok.
  3. setelah itu siapkan sketsa graffiti 3 dimensi yang telah anda buat.
  4. siapkan pilox yang telah anda persiapkan.
  5. apabila anda masih pemula dan ragu-ragu (masih takut) memegang pilox sebaiknya anda membuat sketsa di tembok tersebut menggunakan pensil terlebih dahulu, namun apabila sudah professional anda langsung saja menggunakan pilox namun sebaiknya jangan menggunakan pilox warna hitam terlebih dahulu.
  6. oh iya jangan lupa sebelum anda membuat sketsa di tembok sebaiknya anda siapkan MAL. Apa itu MAL? Mal adalah sebuah alat yang di gunakan untuk penggaris di tembok, Mal terbuat dari kertas/karton/triplek/Koran. Cara membuat MAL yaitu siapkan missal karton anda potong menjadi dua bagian terus anda lipat lurus. Dan ujungnya yang lurus itulah yang akan di gunakan sebagai penggaris pada tembok.
  7. setelah MAL siap dan anda sudah membuat sketsanya di tembok lalu anda mulai mewarnai sketsa yang anda buat di tembok tersebut. Agar graffiti 3 di mensinya timbul anda harus menyiapkan warna yang pas missal untuk bentuknya warna hijau muda kemudian shadownya harus warna hijau agak gelap agar warna yang di hasilkan menyatu.
  8. lalu mewarnai pada graffiti tersebut agar kelihatan rapi dan indah sebaiknya menggunakan MAL yang telah anda buat tadi.
  9. setelah itu hasil graffitinya sudah rapi tinggal anda beri blur hitam dan putih pada shadownya.
  10. kemudian anda akan menghasilkan graffiti berbentuk 3 dimensi.
  11. semoga berhasil dan sukses. Maju terus graffiti di Indonesia. “respect to art”

contoh grafiti

Contoh Desain


2bs_by_rusher.jpg

Graffiti klasik banget


akay.jpg Graffiti klasik biru


10.jpg Graffiti penuh warna


9.jpg Graffiti klasik gedung


8.jpg Graffiti biru fangki


7.jpg Graffiti gaul


6.jpg Graffiti romansa


5.jpg Graffiti huruf jepang api


4.jpg Graffiti gaya jogja


3.jpg Graffiti animasi mario


2.jpg Graffiti kayal studio


1.jpg Graffiti laut bebas


SEJARAH GRAFITI


Kebiasaan menulis coretan di dinding bermula
dari manusia primitif sebagai cara mengkomunikasi-
kan perburuan.

Pada masa ini, graffiti digunakan
sebagai sarana mistik dan spiritual untuk membangkit-
kan semangat berburu. Perkembangan kesenian di
zaman Mesir kuno juga memperlihatkan aktifitas
melukis di dinding-dinding piramida. Lukisan ini
mengkomunikasikan alam lain yang ditemui seorang
pharaoh Firaun setelah dimumikan. Kegiatan graffiti
sebagai sarana menunjukkan ketidak puasan baru
dimulai pada zaman Romawi dengan bukti adanya
lukisan sindiran terhadap pemerintahan di dinding-
dinding bangunan. Lukisan ini ditemukan di rerun-
tuhan kota Pompeii. Sementara di Roma sendiri
dipakai sebagai alat propaganda untuk mendiskre-
ditkan pemeluk Kristen yang pada zaman itu dilarang
kaisar.
Di Indonesia, pada masa perang kemerdekaan
graffiti menjadi alat propaganda yang efektif dalam
menggelorakan semangat melawan penjajah Belanda.
Keberanian menuliskan graffiti maka nyawa menjadi
taruhannya. Masyarakat yang menjadi penulis graffiti
pada saat itu menjadi posisi yang penting juga dalam
masa peran kemerdekaan. Pelukis Affandi pada masa
peperangan melawan penjajahan Belanda pernah
membuat slogan yang dia buat ”Boeng Ajo Boeng!”
yang kemudian dituliskan di tembok-tembok jalanan.

Menurut catatan Majalah HAI No. 36/XXX/4
September-10 September 2006, gerakan graffiti di
Indonesia diawali sekitar tahun 1970-an berupa tag
atau coretan tanda tangan pembuat serta coretan
tulisan-tulisan yang lebih memaknakan identitas
kelompok atau geng, nama sekolah, sumpah serapah,
kritik sosial anti- pemerintah bahkan nama seseorang
yang disukai. Cat semprot di Jakarta pada tahun 1970
sudah marak. Sehingga pada saat itu Jakarta
disemarakkan oleh coretan-coretan yang dimaksudkan
sebagai kebanggaan kelompok atau geng, seperti
“Rasela” yang berarti Rajawali Selatan di kawasan
Gunung Sahari. “T2R” di wilayah Tomang-Slipi-
Grogol atau “Lapendos (Laki-laki Penuh Dosa)”.
Kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan ada geng
yang menuliskan “Legos”, lalu ada “Cokrem (Cowok
Krempeng)” di sekitaran Pangudi Luhur serta geng
anak-anak mobil yang menamakan dirinya
“Mondroid”.
Di Bandung pada tahun-tahun 1970-1980 ada
geng yang menuliskan graffiti “Orexas (Organisasi
Sex Bebas)” yang menyemarakkan kota ini. Tulisan
tersebut diambil dari popularitas novel yang ditulis
oleh Remy Silado. Graffiti di Jogjakarta pada sekitar
tahun 1980-1995 pernah disemarakkan oleh graffiti
yang memenuhi spot-spot di kota Jogja. Graffiti
tersebut bertuliskan “JXZ” atau “Joxzin” yang
menyiratkan juga pada kebanggaan kelompok atau
geng.
Selain nama geng, ada juga graffiti yang bernada
iseng. Graffiti jenis ini tidak dimiliki oleh perorangan
atau kelompok, namun seperti menjadi milik bersama,
karena hampir di setiap kota, tulisan ini selalu ada di
tembok maupun dinding alat transportasi. Tulisan
seperti “AN3DIS (Antigadis)”, “Can Are Rock (Ken
Arok) atau “PRA ONE TWO LAND (Perawan
Tulen)”.
Pada dekade 1980-an, graffiti geng mulai ber-
kurang dan digantikan oleh nama sekolah. Jenis
tulisan pada graffiti ini terbilang unik, karena graffiti
jenis ini tidak ditemukan di negara manapun. Pembuat
graffiti ini ingin membawa identitas sekolah ke dalam
coretan-coretannya, misalnya ada “Mahakam Six”,
“Brigade 70”, “Dos-Q”, “Kapin” dan “Kapal 616”.
616 dipakai untuk merujuk kepada angkutan umum
Kopaja bernomor 616 yang sering dipakai anak-anak
sebuah sekolah di bilangan Jalan Wolter Monginsidi,
Blok Q, Kebayoran. Gerakan graffiti ini menginspirasi
lagu berjudul “Tangan Setan” ciptaan Ian Antono
yang dipopulerkan oleh Nicky Astria pada perte-
ngahan tahun 1980 sebagai wujud anti-graffiti yang
pada saat itu berkesan merusak wajah ibu kota,
Jakarta.
Gerakan graffiti yang terus berlanjut hingga
pertengahan tahun 1990 corak atau gaya graffiti masih
berupa coretan-coretan liar dari cat semprot maupun
spidol. Namun seiring dengan terbukanya informasi
dan teknologi yang memungkinkan masyarakat dapat
mengakses berita dari ruang maya (internet), menjadi-
kan pada sekitar tahun 2000 graffiti menemukan
gayanya yang baru di Indonesia. Gerakan yang
mengarah pada artistic graffiti ini dipelopori kebanya-
kan oleh mahasiswa seni rupa di Jakarta, Bandung dan
Jogjakarta. Karya-karya graffiti dari luar negeri pun
menjadi inspirasi pembuat graffiti (selanjutnya disebut
bomber) di Indonesia.
Graffiti naik pamornya pada masa 1990 awal.
Pada saat itu graffiti diangkat oleh Alm. YB Mangun-
widjaja atau Romo Mangun menjadi salah satu bentuk
kesenian dalam program graffiti dan seni mural untuk
perkampungan kumuh di pinggiran Kali Code,
Jogjakarta. Bilik atau papan rumah-rumah di daerah
itu pun tampil dengan tidak kumuh tetapi lebih segar
dipandang.
Meskipun model tagging sudah mulai ditinggal-
kan dan beralih ke model graffiti artistik dengan
berbagai bentuknya (bubble, wildstyle dan 3D),
namun pola yang sama masih diterapkan, yaitu
mereka masih menuliskan nama komunitasnya
meskipun dalam graffiti artistik terkadang tingkat
keterbacaannya lemah tertutupi oleh bentuknya yang
artistik dengan permainan warna dan bentuk. Nama
komunitas inilah yang oleh beberapa orang diasumsi-
kan sebagai identitas yang ingin ditunjukkan sekaligus
sebagai motivasi mereka dalam membuat graffiti.
Tidak berbeda dengan saat ketika graffiti ini dilakukan
pertama kali di Amerika Serikat sekitar awal tahun
1970 bersamaan dengan lahirnya breakdance (Bam-
bataa, 2005:85). Membuat graffiti untuk menunjukkan
identitas sebagai personal maupun komunitas adalah
hal yang penting dan lebih penting daripada tulisan-
tulisan yang berisi pesan sosial.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apa-
kah komunitas graffiti yang sekarang tumbuh dan
berkembang di Indonesia dan telah menyebar di ber-
bagai kota besar masih melakukannya demi identitas
ataukah graffiti telah menjelma menjadi perwujudan
tren? Artinya di saat remaja yang lain membuat
graffiti, maka sebagai wujud bahwa mereka akan
diterima secara sosial adalah melakukan hal yang
sama dilakukan oleh remaja lain bahkan menjadi
kebutuhan untuk dilihat bahwa mereka adalah remaja
yang tidak ketinggalan jaman. Atas dasar pertanyaan
itulah, tulisan ini dibuat untuk menganalisis apakah
membuat graffiti di era dimana komunitas bomber
bermunculan sekarang ini masih memiliki ideologi
seperti penanaman politik identitas yang berujung
pada kebanggaan memiliki kelompok maupun diri.

JOGJA

SEMAR GARENG


Creative Theme Day #1 : Please Don't Sell My Country

Its Creative Theme Day, a campaign of creativity. This time, the theme is “Kata-kata (Kaos) Kreatif Kota Kita” (Creative (TShirt) Words of Our City). And from under the Lempuyangan’s flyover, there is message from Jogja’s people for the leader of Indonesia : Aja Adol Negara (Please Don’t Sell My Country). Simple message for all of the President candidate.

Life is Getting Harder

From day to day.. life is getting harder and harder.. especially when the Indonesia government had a plan to increase the fuel price..

picture grafiti

grafiti picture

GEEKY GRAFITI




Games / Time Snail