Grafiti
– tulislah sajak cinta di gardu pos kamling
Cinta bisa dinyatakan di toilet terminal, bokong truk, grafiti di tembok kota atau sprei sebuah ranjang penginapan murah. Sebuah bait dari kitab agung Sutasoma menghadirkan kemungkinan yang mengejutkan –biarlah saya mengutip (terjemahan)nya di sini barang sebentar:
“Satu waktu sang permaisuri sedang makan angin dalam sebuah mahanten (pondok kecil di taman sari). Di sana ia menyalin sebuah kakawin yang ditinggal seorang penyair yang sedang dilanda asmara. Ketika Sang Raja mengetahui sang istri menembangkan kakawin itu, meluaplah rasa curiga dan sedihnya; pasti ada seorang kekasih yang mengirimkan sajak-sajaknya lewat bunga pudak (sejenis pandan). Tetapi Dewi Marmawati menegaskan bahwa ia hanya menyalin kakawin itu…”
Selanjutnya, dikisahkan Mpu Tantular, Raja tersebut pergi ke mahanten yang disebutkan permaisuri, sayangnya kakawin yang dibaca istrinya telah terhapus oleh air yang menetes dari teratak. Rupanya, ada seorang pangeran, muda lagi nakal, yang terbakar oleh nafsu asmara kepada permaisuri sehingga ia terus menerus mengirimkan sajak-sajak asmara, biarpun cintanya itu ditolak. Amarah Raja tak tertahankan sehingga ia mengirimkan pangeran muda tadi ke medan pertempuran untuk seterusnya tak pernah kembali.
Zoetmulder, seorang sarjana kesustraan Jawa yang bertaraf empu, mengutip fragmen di atas untuk membuka uraiannya mengenai bagaimana pondok, balai, atau bangunan-bangunan kecil yang sejenis dengan itu seringkali digunakan sebagai medium bagi seorang pujangga atau kawi untuk menuliskan syair-syairnya.
Sayangnya, Zoetmulder tak bisa memastikan bagaimana pondok semacam itu menjadi medium penulisan syair-syair. Mungkinkah Sang Pujangga menuliskan syairnya dalam sehelai lontar atau pudak? Mungkin saja. Tapi sepertinya bukan.
Dalam Kitab Sumanasantaka yang ditulis Mpu Monaguna pada abad 11, ada fragmen tentang pujangga yang singgah di sebuah pondok dekat telaga bersama kekasihnya. Pujangga tadi sempat menggubah sebuah syair di pondok tersebut. Sebelum meninggalkan pondok, kekasih sang pujangga merasa perlu menghapalkan lebih dulu syair itu sebelum akhirnya pergi.
Jika syair itu ditulis dalam sehelai lontar, bukankah lebih mudah dan praktis jika syair itu dibawa serta dan tak perlu menghapalkannya lebih dulu? Kemungkinan yang palling masuk akal adalah sang pujangga memang menuliskan syairnya di salah satu dinding atau tiang pondok tersebut.
Ada banyak contoh dan fragmen bagaimana syair-syair cinta ternyata ditulis dengan cara seperti di atas. Sepertinya ada hubungan yang cukup istimewa antara syair-syair cinta dengan bangunan-bangunan kecil, entah itu di taman sari, keputren, di tepi telaga atau di depan biara.
Bait lain dari Kitab Sutasoma juga menggambarkan hal serupa. Dalam sebuah deskripsi mengenai bidadari-bidadari dari sorga yang diutus oleh Indra untuk menggoda SUtasoma, terdapat bait yang berbunyi: “Beberapa di antara mereka dilanda oleh rasa asmara yang dituangkan lewat suatu ratapan dalam bentuk syair di dalam sebuah yasa (pondok).”
Saya tidak tahu kenapa banyak orang-orang yang dilanda asmara pada zaman dulu mencurahkan rasa-hatinya dalam syair-syair yang dicoretkan di dinding/tiang sebuah pondok. Mungkin pada masa itu mengungkapkan perasaan cinta langsung pada orangnya masih dianggap tak lazim, sehingga jangankan “nembak langsung”, mengungkapkan dalam sepucuk surat pun barangkali masih dianggap aneh. Dengan menuliskan syair di pondok yang akan disinggahi atau didatangi oleh orang lain, bisa jadi penulisnya berharap orang yang ia cintai akan membacanya satu waktu atau akan ada orang lain yang membacanya dan lantas menyampaikan syair itu pada perempuan yang dicintainya.
Bait lain dari Kitab Sumanasantaka membenarkan salah satu kemungkinan itu. Dalam bagian yang mengisahkan seorang yang ditolak lamarannya oleh Putri Indumati, tertulis begini: “Ia membaca syairnya dan memandangnya dengan penuh cinta, mengerutkan dahinya dan membacanya kembali dengan penuh perhatian; air matanya bercucuran ketika ia merenungkan isinya, karena perasaannya telah diungkapkan dengan amat baik. Pantas jika syair itu disimpan dalam sebuah mahanten (pondok) sehingga dapat dibaca oleh seorang pengembara yang putus asa karena terpisah dari kekasihnya.”
Karena Kitab Sutasoma –di mana semboyan “bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” dicuplik– saja sudah mengabadikan corat-coret macam itu, tak perlu diherankan jika 6 abad kemudian banyak para pecinta dan penyair amatiran melakukannya kembali di mana-mana….