Kamis, 25 Maret 2010

SEJARAH GRAFITI


Kebiasaan menulis coretan di dinding bermula
dari manusia primitif sebagai cara mengkomunikasi-
kan perburuan.

Pada masa ini, graffiti digunakan
sebagai sarana mistik dan spiritual untuk membangkit-
kan semangat berburu. Perkembangan kesenian di
zaman Mesir kuno juga memperlihatkan aktifitas
melukis di dinding-dinding piramida. Lukisan ini
mengkomunikasikan alam lain yang ditemui seorang
pharaoh Firaun setelah dimumikan. Kegiatan graffiti
sebagai sarana menunjukkan ketidak puasan baru
dimulai pada zaman Romawi dengan bukti adanya
lukisan sindiran terhadap pemerintahan di dinding-
dinding bangunan. Lukisan ini ditemukan di rerun-
tuhan kota Pompeii. Sementara di Roma sendiri
dipakai sebagai alat propaganda untuk mendiskre-
ditkan pemeluk Kristen yang pada zaman itu dilarang
kaisar.
Di Indonesia, pada masa perang kemerdekaan
graffiti menjadi alat propaganda yang efektif dalam
menggelorakan semangat melawan penjajah Belanda.
Keberanian menuliskan graffiti maka nyawa menjadi
taruhannya. Masyarakat yang menjadi penulis graffiti
pada saat itu menjadi posisi yang penting juga dalam
masa peran kemerdekaan. Pelukis Affandi pada masa
peperangan melawan penjajahan Belanda pernah
membuat slogan yang dia buat ”Boeng Ajo Boeng!”
yang kemudian dituliskan di tembok-tembok jalanan.

Menurut catatan Majalah HAI No. 36/XXX/4
September-10 September 2006, gerakan graffiti di
Indonesia diawali sekitar tahun 1970-an berupa tag
atau coretan tanda tangan pembuat serta coretan
tulisan-tulisan yang lebih memaknakan identitas
kelompok atau geng, nama sekolah, sumpah serapah,
kritik sosial anti- pemerintah bahkan nama seseorang
yang disukai. Cat semprot di Jakarta pada tahun 1970
sudah marak. Sehingga pada saat itu Jakarta
disemarakkan oleh coretan-coretan yang dimaksudkan
sebagai kebanggaan kelompok atau geng, seperti
“Rasela” yang berarti Rajawali Selatan di kawasan
Gunung Sahari. “T2R” di wilayah Tomang-Slipi-
Grogol atau “Lapendos (Laki-laki Penuh Dosa)”.
Kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan ada geng
yang menuliskan “Legos”, lalu ada “Cokrem (Cowok
Krempeng)” di sekitaran Pangudi Luhur serta geng
anak-anak mobil yang menamakan dirinya
“Mondroid”.
Di Bandung pada tahun-tahun 1970-1980 ada
geng yang menuliskan graffiti “Orexas (Organisasi
Sex Bebas)” yang menyemarakkan kota ini. Tulisan
tersebut diambil dari popularitas novel yang ditulis
oleh Remy Silado. Graffiti di Jogjakarta pada sekitar
tahun 1980-1995 pernah disemarakkan oleh graffiti
yang memenuhi spot-spot di kota Jogja. Graffiti
tersebut bertuliskan “JXZ” atau “Joxzin” yang
menyiratkan juga pada kebanggaan kelompok atau
geng.
Selain nama geng, ada juga graffiti yang bernada
iseng. Graffiti jenis ini tidak dimiliki oleh perorangan
atau kelompok, namun seperti menjadi milik bersama,
karena hampir di setiap kota, tulisan ini selalu ada di
tembok maupun dinding alat transportasi. Tulisan
seperti “AN3DIS (Antigadis)”, “Can Are Rock (Ken
Arok) atau “PRA ONE TWO LAND (Perawan
Tulen)”.
Pada dekade 1980-an, graffiti geng mulai ber-
kurang dan digantikan oleh nama sekolah. Jenis
tulisan pada graffiti ini terbilang unik, karena graffiti
jenis ini tidak ditemukan di negara manapun. Pembuat
graffiti ini ingin membawa identitas sekolah ke dalam
coretan-coretannya, misalnya ada “Mahakam Six”,
“Brigade 70”, “Dos-Q”, “Kapin” dan “Kapal 616”.
616 dipakai untuk merujuk kepada angkutan umum
Kopaja bernomor 616 yang sering dipakai anak-anak
sebuah sekolah di bilangan Jalan Wolter Monginsidi,
Blok Q, Kebayoran. Gerakan graffiti ini menginspirasi
lagu berjudul “Tangan Setan” ciptaan Ian Antono
yang dipopulerkan oleh Nicky Astria pada perte-
ngahan tahun 1980 sebagai wujud anti-graffiti yang
pada saat itu berkesan merusak wajah ibu kota,
Jakarta.
Gerakan graffiti yang terus berlanjut hingga
pertengahan tahun 1990 corak atau gaya graffiti masih
berupa coretan-coretan liar dari cat semprot maupun
spidol. Namun seiring dengan terbukanya informasi
dan teknologi yang memungkinkan masyarakat dapat
mengakses berita dari ruang maya (internet), menjadi-
kan pada sekitar tahun 2000 graffiti menemukan
gayanya yang baru di Indonesia. Gerakan yang
mengarah pada artistic graffiti ini dipelopori kebanya-
kan oleh mahasiswa seni rupa di Jakarta, Bandung dan
Jogjakarta. Karya-karya graffiti dari luar negeri pun
menjadi inspirasi pembuat graffiti (selanjutnya disebut
bomber) di Indonesia.
Graffiti naik pamornya pada masa 1990 awal.
Pada saat itu graffiti diangkat oleh Alm. YB Mangun-
widjaja atau Romo Mangun menjadi salah satu bentuk
kesenian dalam program graffiti dan seni mural untuk
perkampungan kumuh di pinggiran Kali Code,
Jogjakarta. Bilik atau papan rumah-rumah di daerah
itu pun tampil dengan tidak kumuh tetapi lebih segar
dipandang.
Meskipun model tagging sudah mulai ditinggal-
kan dan beralih ke model graffiti artistik dengan
berbagai bentuknya (bubble, wildstyle dan 3D),
namun pola yang sama masih diterapkan, yaitu
mereka masih menuliskan nama komunitasnya
meskipun dalam graffiti artistik terkadang tingkat
keterbacaannya lemah tertutupi oleh bentuknya yang
artistik dengan permainan warna dan bentuk. Nama
komunitas inilah yang oleh beberapa orang diasumsi-
kan sebagai identitas yang ingin ditunjukkan sekaligus
sebagai motivasi mereka dalam membuat graffiti.
Tidak berbeda dengan saat ketika graffiti ini dilakukan
pertama kali di Amerika Serikat sekitar awal tahun
1970 bersamaan dengan lahirnya breakdance (Bam-
bataa, 2005:85). Membuat graffiti untuk menunjukkan
identitas sebagai personal maupun komunitas adalah
hal yang penting dan lebih penting daripada tulisan-
tulisan yang berisi pesan sosial.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apa-
kah komunitas graffiti yang sekarang tumbuh dan
berkembang di Indonesia dan telah menyebar di ber-
bagai kota besar masih melakukannya demi identitas
ataukah graffiti telah menjelma menjadi perwujudan
tren? Artinya di saat remaja yang lain membuat
graffiti, maka sebagai wujud bahwa mereka akan
diterima secara sosial adalah melakukan hal yang
sama dilakukan oleh remaja lain bahkan menjadi
kebutuhan untuk dilihat bahwa mereka adalah remaja
yang tidak ketinggalan jaman. Atas dasar pertanyaan
itulah, tulisan ini dibuat untuk menganalisis apakah
membuat graffiti di era dimana komunitas bomber
bermunculan sekarang ini masih memiliki ideologi
seperti penanaman politik identitas yang berujung
pada kebanggaan memiliki kelompok maupun diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar