Sabtu, 20 Maret 2010

grafiti

Grafiti, Bukan Sekedar Coretan

Oleh Chyntia Sheila Elok Paemdong | 2 September 2009 | Humaniora

Lukisan aneka warna yang ada pada dinding-dinding rumah, toko maupun pagar tembok ternyata bukan sekedar coretan. Bila dicermati, tersirat makna dalam seni menggambar dinding yang dikenal dengan nama grafiti tersebut. Hal ini merupakan wujud ekspresi merekadalam menyampaikan pesan kepada semua orang yang melihatnya.
Coretan yang dulu sempat dianggap merusak lingkungan ini nampaknya semakin banyak peminat. Hal ini terbukti saat pembuat grafiti alias bomber pada Sabtu (15/8) kemarin mengekspresikan karya seninya di sepanjang tembok belakang Hotel Maya, Jalan Monginsidi, Salatiga. Mereka berkompetisi dalam acara “Born to Burn, Salatiga Graffiti Competition” yang diselenggarakan oleh Sinner Crew (komunitas grafiti Salatiga) bekerjasama dengan Rinto Sujarwo Photography, sebagai sponsor utama.
Born to Burn sendiri merupakan acara tahunan Sinner Crew yang diselenggarakan di Salatiga. Tahun lalu acara yang sama mereka selenggarakan di sepanjang tembok Jalan Kalimangkak. Acara kali ini merupakan yang keempat, namun berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya menggambar bersama dan tahun ini, mereka menggambar untuk dilombakan.
Dalam lomba yang berlangsung dari pukul 09.00 hingga 15.00 WIB tersebut, merupakan wujud keikutsertaan komunitas grafiti dalam memeriahkan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-64. Tema yang diambil adalah “Fotografiti Semangat Kemerdekaan” dan diikuti oleh 17 peserta dari berbagai kota di Jawa Tengah. Peserta lomba merebutkan total hadiah Rp 2 juta, beserta tropi dan sertifikat.
Masing-masing peserta pun disibukkan dengan spray paint (cat semprot), cat (yang mereka bawa sendiri — Red) dan tembok yang sudah disediakan panitia. Tangan-tangan cekatan para bomber pun beraksi. Mencat, menyemprotkan spray paint, mundur ke belakang, memandang dari kejauhan, ditemani rokok terselip di antara jari-jari mereka, itulah yang dilakukan saat menggambar. Menuangkan konsep yang telah direncanakan sebelumnya, dilakukan secara bergantian oleh kelompoknya. Keramaian jalan pun tak mampu memecah konsentrasi mereka.
Penduduk sekitar yang ikut menonton aksi mereka pun mendukung acara ini. “Temboknya terlihat lebih bagus dengan grafiti yang keren seperti itu. Asalkan setelah kompetisi ini mereka bertanggungjawab akan kebersihan, peralatan yang mereka gunakan segera dibersihkan. Mereka berharap acara ini akan ada lagi tiap tahunnya,” ucap Zara, remaja yang tinggal disekitar tempat tersebut.
Pukul 15.00 WIB, ketiga orang juri mulai melakukan penilaian hasil karya mereka. Juri tersebut adalah Rinto Sujarwo, Tomi Febriyanto (penikmat seni sekaligus dosen Fisipol UKSW), dan Bayu “Yop” (salah seorang bomber Salatiga).
Keputusan juara kompetisi ini yang dibacakan Tomi. Juara Pertama diraih oleh mahasiswa Universitas Atmajaya, Rune dan As. Juara kedua, Mosses dan Hila. Dan juara ketiga, diraih oleh Ferdy dan Al. Pemenang, semuanya peserta dari Yogyakarta.
Saat dikonfirmasi Tomi mengatakan, “Mereka memenuhi kriteria dalam kompetisi ini.”
“Kesesuaian dengan tema, membuat grafiti tersebut menjadi sinkron dengan fotografi sesuai konsep fotografiti, mengaplikasikan unsur fotografi ke grafiti, serta seperti pada umumnya komposisi warna dan tagging grafiti itu sendiri,” jelasnya.
Dalam grafiti yang dibuat oleh Rune dan As, terlihat seorang wanita mencium sang merah putih yang ada di dekapan tangannya. Di sampingnya font grafiti besar bertulis “Merdeka”. Di antara tulisan dan gambar sosok seorang wanita, terdapat tulisan “HUT RI ke-64″, kemudian di bawahnya “Benderaku Kebanggaanku…”.
“Seorang wanita identik dengan kelembutan, sangat cocok memegang bendera merah putih yang suci,” jawab Rune saat ditanya Scientiarum mengenai konsep karyanya.
“Bendera merah putih lambang kemerdekaan, mengingatkan kekuatan yang begitu besar akan perjuangan bangsa, namun untuk meneruskan kemerdekaan sekarang ini perlu kelembutan bukan hanya kekerasan, agar bangsa Indonesia tetap bersatu,” tegasnya.
Rune membawa pacarnya. Ia mengatakan kalau pacarnya itulah yang menjadi sumber inspirasi karyanya. Dan ada pula salah satu bomber dari mahasiswa UKSW yang mengatakan terinspirasi Mbak Ipah, pelayan café UKSW yang terkenal latah.
Tidak terlihat kekecewaan yang berarti dari para peserta yang lain. Usai acara Born to Burn ini, mereka meneruskan hasil karya mereka dengan spray paint dan cat yang masih tersisa.
Tujuan utama mereka bukanlah menang ataupun kalah, juga bukan hanya untuk merebutkan hadiah. Mereka cukup senang bisa menyalurkan hobi mereka, bisa saling belajar antarpeserta, dan acara kumpul bersama bomber itupun cukup mengasyikkan. Itulah yang diucapkan sebagian besar peserta saat ditanya tentang tujuan mereka mengikuti kompetisi ini.
Kompetisi grafiti ini bisa menjadi ajang kreativitas dalam mengolah huruf juga warna bagi peserta. Menjadi wadah para bomber untuk dapat menyalurkan hobi dan bakat — graffiti khusunya — lebih terarah dan tanpa merusak fasilitas umum.
Grafiti bukan sekedar coretan. Grafiti adalah sebuah seni rupa yang patut hargai dan dikagumi oleh siapapun. Keindahan perpaduan komposisi warna dengan cat dan pylox, melukiskan kalimat di atas dinding, menjadi wujud karya para bomber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar